Halo!
Kali ini aku bakalan ngebahas tentang Buku Petualangan Fiksi yang judulnya “Ulysses Moore”. Buku ini adalah buku seri petualangan yang menurutku bagus dan cocok buat kamu-kamu yang suka banget petualangan dan suka memecahkan misteri. Serunya lagi sang pengarang –hebat banget- bisa menciptakan buku yang cocok di baca oleh anak usia 8 tahun ke atas yang mudah dimengerti ini. Bukan itu saja, buku ini juga mengajak kita untuk masuk ke dalam cerita dan ikut memecahkan teka-teki yang ada. Serunya lagi, buku ini membawa kita kealam imajinasi yang luar biasa spektakuler (Karena aku sudah membaca beberapa bukunya).
Buku ini menceritakan tentang 3 orang anak usia 11 tahun (Jason Covenant, Julia Covenant, dan Rick Banner) yang 'terlanjur' memulai sebuah petualangan besar yang menyangkut hidup-mati ketiganya. Ceritanya benar-benar tegang dan terasa real.
Menurut kabar, buku ini ada 10 seri. Tapi belum terbit semuanya.
Kebetulan, yang sudah sempat aku baca itu ada 4 buku. Yaitu “Pintu Waktu”-The Door of Time-, “Peta yang Hilang”-The Long Lost Map-, “Rumah Cermin”-The House of Mirror-, dan yang terakhir “Pulau Topeng”-(bahasa inggrsnya lupa)-
Untuk lebih sedikit banyak rinciannya, baca di bawah ini :
#1 Pintu Waktu
Di dalam seri pertama diceritakan bahwa sepasang anak kembar, Julia dan Jason Covenant (11) yang baru pindah dari London ke pinggiran Inggris. Rumahnya besar itu bernama Argo Manor dan dipenuhi dengan barang-barang yang antik dan terbilang aneh. Semuanya bagaikan misteri yang sangat ingin Jason pecahkan, sementara Julia lebih ingin tinggal di rumah ketimbang harus ikut-ikutan 'gila' bersama saudaranya. Di dalam rumah itu juga mereka menemukan beberapa benda yang semakin membuat keduanya penasaran, dan akhirnya mereka menemukan pintu yang tidak lain adalah pintu yang membawa mereka dan Rick Banner -tentunya- memulai petualangan besar mereka. Bagaimanakah petualangan mereka untuk bisa keluar dari Pintu waktu yang gelap dan tak bisa terbuka itu?
Berikut kutipan dari #1 Pintu Waktu:
Bab 1
ARGO MANOR
Rumah itu tiba-tiba muncul dari balik tikungan. Menara batunya mencuat seperti jari yang menunjuk ke langit. Laut berwarna biru-kelabu menjadi latar belakang rumah yang besar itu.
“Wow,” Nyonya Covenant terperangah.
Di belakang kemudi mobil, suaminya hanya tersenyum. Dia mengarahkan mobilnya memasuki gerbang besi yang berdiri angker – sepertinya dibuka khusus untuk menyambut kedatangan mereka, tebak Tuan Covenant – dan memarkir mobilnya di halaman.
Nyonya Covenant keluar dari mobil diiringi gemeretak kerikil putih yang terinjak di bawah kakinya. Ia mengerjapkan mata dan terpana, sambil menyentuhkan jari-jemarinya ke bibir seolah-olah belum yakin dengan apa yang dilihatnya.
Rumah itu bertengger di atas sebuah tebing tinggi yang menghadap ke laut. Jauh di bawah tebing, ombak berdebur menghantam karang. Udara terasa tajam dan asin.
Rumah itu dikepung birunya laut dan langit, membuatnya seolah-olah akan ditelan oleh alam sekitar. Deretan pepohonan berdiri rapi di setiap sisinya, diselingi oleh bunga-bunga berbagai warna. Dari tepi tebing, pantai berpasir di bawah sana hampir tak terlihat. Lebih jauh lagi, terlihat teluk Kilmore Cove yang dikelilingi oleh sebuah kota dengan rumah-rumah yang dibangun berdekatan dengan laut. Setiap rumah, setiap orang, seluruh kota – seakan terpusat pada keindahan laut itu.
Saat berdiri di halaman dengan mata berkedap-kedip penuh rasa takjub, Nyonya Covenant didekati oleh seorang laki-laki tua. Wajahnya dihiasi keriput yang terlihat jelas dan janggut putih yang terpangkas rapi.
Dengan tatapan yang dalam dan penuh selidik, laki-laki itu berkata, “Nama saya Nestor, saya adalah pengurus di Argo Manor ini.”
Jadi itu nama rumah ini: Argo Manor. Aneh sekali, pikir Nyonya Covenant. Sementara itu, pengurus rumah mulai berjalan terpincang-pincang ke arah rumah. Ia memimpin pasangan suami istri itu ke sebuah teras berukir yang menawarkan pemandangan menakjubkan ke arah laut di bawah sana.
“Apa kau yakin kita tidak salah?” Nyonya Covenant bertanya ragu-ragu. Tangannya mengusap-usap dinding Argo Manor seakan-akan ingin meyakinkan dirinya bahwa rumah itu nyata dan semua ini bukanlah sekadar mimpi indah belaka.
Tuan Covenant memegang tangan istrinya. Reaksi sang istri saat melihat tempat ini membuatnya gembira. Istrinya sudah jatuh hati padahal mereka belum melangkah ke dalam! “Sekarang bersiap-siaplah,” Tuan Covenant berbisik di telinga istrinya.
Bagian dalam Argo Manor bahkan lebih menakjubkan daripada bagian luarnya. Nestor menyeret mereka dalam sebuah tur kilat mengelilingi Argo Manor, meluncur masuk dan keluar ruangan, membuka pintu-pintu, menyibakkan tirai-tirai, kemudian cepat-cepat memandu suami istri Covenant ke ruangan berikutnya. Rumah itu tua, namun memiliki… karakter. Ya, itulah kata yang tepat, pikir Nyonya Covenant. Karakter, seolah-olah rumah itu merupakan makhluk hidup dan bukan sekadar rumah dari batu dan kayu.
Perabotannya merupakan paduan aneh dari berbagai gaya, yang tampaknya berasal dari seluruh penjuru dunia: sebuah vas Mesir, sebuah meja Venesia, permadani-permadani Persia, sampai sebuah lukisan dari Hudson River School. Namun, entah bagaimana semuanya terlihat serasi. Setiap benda terlihat pantas berada di rumah itu.
“Katakan padaku semua ini nyata,” gumam Nyonya Covenant pada suaminya. “Semua ini milik kita? Katakan padaku aku tak bermimpi.”
Tuan Covenant meremas tangan istrinya. “Semua ini nyata, Sayang,” jawabnya. “Selamat datang di rumah barumu.”
Pengurus rumah membimbing mereka menuju sebuah ruang duduk mewah yang memiliki langit-langit kuno dengan balok-balok penyangga yang dibiarkan tak tertutup. Dinding-dindingnya terbuat dari batu. Ruang itu dihubungkan oleh sebuah lorong kecil dengan langit-langit melengkung. Di seberang ruangan terdapat sebuah pintu lain – pintu dari kayu berwarna gelap yang terpasang pada dinding di sisi yang jauh.
“Ini adalah salah satu ruangan yang paling tua,” kata Nestor sambil tersenyum puas. “Pemilik sebelumnya, Tuan Ulysses Moore, sangat perhatian terhadap hal-hal tertentu. Beliau bersikeras ruangan-ruangan di rumah ini tidak ada yang boleh diubah. Memang, waktu akhirnya mengubah segalanya. Dulu pernah ada menara abad pertengahan di rumah ini, tapi kemudian hancur oleh badai. Satu-satunya perubahan yang diizinkan Tuan Moore adalah menyegel jendela-jendela yang tidak cukup rapat untuk menahan embusan angin dan, tentu saja, memasang kabel listrik. Walaupun, harus kuakui,” Nestor menambahkan, “kami masih tetap bermasalah dengan embusan angin.”
“Jason pasti akan menyukai tempat ini,” kata Tuan Covenant.
Istrinya tidak menanggapi. Pikirannya tertuju pada putrinya, Julia.
“Ada dua anak, bukan begitu?” tanya pengurus rumah.
“Ya. Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Keduanya sebelas tahun,” jawab Nyonya Covenant. “Anak kembar.”
Mata Nestor bersinar. “Dan saya yakin mereka anak-anak yang ceria dan penuh semangat! Betapa bahagianya nanti mereka di sini,” katanya. “Jangan mengkhawatirkan mereka, Nyonya. Rumah ini mungkin terisolasi dari rumah-rumah lain, tapi rumah ini menawarkan banyak hal menarik untuk anak-anak yang gemar bertualang.”
“Oh, benar sekali, mereka memang gemar bertualang,” jawab Nyonya Covenant sambil tersenyum. Ia tak mengkhawatirkan Jason. Putranya itu memiliki daya imajinasi yang hebat dan Nyonya Covenant tahu kalau Jason akan langsung merasakan keajaiban tempat ini. Tapi Julia berbeda. Ia seorang gadis kota yang menikmati hiruk-pikuk kehidupan kota: kebisingan, kesibukan yang luar biasa, wajah-wajah yang berseliweran, dan beragam budaya.
Tuan Covenant tampaknya bisa membaca pikiran istrinya. “Mereka akan baik-baik saja,” kata Tuan Covenant meyakinkan. “Termasuk Julia. Kehidupan di sini akan baik untuk mereka berdua.”
Nyonya Covenant mengangguk. “Ya, tentu saja,” ucapnya pada Nestor. “Si kembar akan merasa sangat senang.”
“Sempurna,” desis Nestor, mengusap-usap janggutnya. “Sempurna sekali. Jadi kita sepakat?” Ia pun mengulurkan tangannya untuk menjabat Tuan Covenant.
Tuan Covenant menjelaskan pada istrinya bahwa pemilik rumah sebelumnya, Ulysses Moore, adalah orang yang eksentrik; seorang laki-laki tua dengan ide-ide aneh. Ia telah berpesan agar rumah itu disewakan hanya kepada keluarga muda yang setidaknya memiliki dua orang anak.
Nestor mengangguk membenarkan. “Ia menginginkan rumah ini selalu ramai dan hidup,” jelas sang pengurus rumah . “Tuan Moore percaya bahwa sebuah rumah tanpa suara anak-anak sama saja seperti orang mati.”
Ia berjalan memimpin suami-istri itu kembali ke luar ruangan. Sebelum Nyonya Covenant melangkah keluar, sesuatu membuatnya berhenti di bawah lorong yang langit-langitnya melengkung. Nyonya Covenant membalikkan badannya dan mengamati pintu di dinding sebelah timur dengan lebih saksama. Kayu pintu itu terlihat gosong di beberapa tempat, seakan-akan pintu itu pernah selamat dari kebakaran. Di bagian yang lain terlihat banyak goresan, mulai dari parutan dangkal sampai bekas bacokan yang dalam. Seolah-olah – mungkinkah? – seseorang pernah mengampak pintu itu dengan penuh kemarahan.
“Apa yang terjadi pada pintu itu?” tanya Nyonya Covenant.
Nestor berhenti, tatapannya beralih dari pintu ke arah Nyonya Covenant, lalu menggelengkan kepalanya.
“Ah, maafkan saya,” jawabnya. “Itu perintah Tuan Moore. Pintu itu seharusnya sudah sejak lama diganti. Anggap saja pintu itu tidak ada.” Ia berjalan mendekati pintu itu, menyilangkan lengan-lengannya, dan menatap pintu itu seperti menatap musuh lamanya. “Pintu tua ini sudah mengalami banyak hal. Dulu sekali kunci-kunci untuk membukanya, em, hilang. Anda lihat keempat lubang ini? Tuan Moore percaya lubang-lubang ini adalah lubang kunci. Ia mencoba membukanya dengan semua cara yang bisa dilakukan, tapi tidak ada gunanya. Pintu ini,” Nestor menegaskan, “telah tertutup untuk selamanya.”
“Pintu itu menuju ke mana?” tanya Tuan Covenant penasaran.
Sang pengurus rumah mengangkat bahu. “Siapa yang tahu? Bagiku itu misteri. Rumah tua ini penuh rahasia. Mungkin dulu pintu ini adalah jalan pintas menuju tangki air tua, tapi tangki itu saja sekarang sudah tak ada lagi.” Ia menatap pintu itu sambil berpikir, “Pintu ini tidak ada fungsinya.”
Dengan lembut Nyonya Covenant mengusapkan tangannya menyusuri kayu pintu yang hangus dan tergores-gores itu. Timbul rasa cemas di hatinya. “Mungkin kita harus meletakkan sesuatu di depannya,” katanya sambil berbalik dan menatap suaminya. “Aku tak mau anak-anak nanti mencoba membukanya.”
“Ide bagus,” Nestor cepat-cepat menyetujuinya seraya berjalan terpincang-pincang ke luar ruangan itu. “Itu yang terbaik untuk dilakukan. Jangan sampai anak-anak punya gagasan untuk mencoba-coba membukanya.

#2 Peta yang Hilang
ini lanjutan dari Kisah di seri pertama. Di sini Julia, Jason dan Rick harus menemukan petunjuk-petunjuk, memecahkan teka-teki yang sangat sangat sangat tersembunyi dan harus menemukan Peta Kilmore Cove sebelum Oblivia Newton - musuh lama Ulysses Moore- menemukannya terlebih dahulu.
Mereka berhasil menemukan metis dan sampai di Kota yang Terlupakan. Membungkar curuk-curuk, bertemu dengen seorang gadis dan akhirnya harus berjuangan memanjat patung raksasa demi menemukan peta itu.
Berikut Kutipan dari #2 Peta yang Hilang :
Cahaya dari menara Argo Manor berkedip-kedip dan terlihat pudar di tengah badai. Seperti petinju yang kelelahan di ronde-ronde terakhir pertarungan, cahaya itu seperti berjuang melawan malam, tak kuat menghadapi serangan gencar angin dan hujan. Angin kencang menggoyangkan pohon-pohon tinggi seperti menggoyangkan sehelai rumput saja. Krak, bum! Sebuah dahan pohon yang besar patah dan jatuh ke tanah. Jauh di bawah, di sepanjang garis pantai, ombak bergulung-gulung memukul karang.
Di dalam rumah besar itu, Nestor memeriksa dan memeriksa kembali jendela-jendela dan pintu-pintu. Dia berjalan terpincang-pincang dari satu ruangan ke ruangan lain, bergerak dalam kegelapan di antara perabotan kuno di rumah itu. Dia hafal Argo Manor di luar kepala, seolah-olah dia membawa peta rahasia tempat itu, dan dengan mudah menemukan jalan di antara kursi-kursi berbantalan tebal, meja-meja tulis, meja-meja kopi, patung-patung Mesir, dan barang-barang peninggalan dari benua-benua yang hilang. Kepalanya otomatis menunduk sebelum lewat di bawah tempat lilin gantung dari Venesia, di ruang duduk. Setelah bertahun-tahun mengabdi dengan setia, pengetahuan Nestor tentang setiap sudut gelap di rumah tersebut telah mendekati sempurna.
Setelah melewati tangga, Nestor sampai di serambi bertiang di bagian depan rumah dan berhenti di depan jendela kaca yang besar. Sambil menatap kebun yang basah kuyup diguyur hujan, dia bersandar di dasar sebuah patung wanita yang sedang memperbaiki jaring ikan. Diterangi cahaya kilat menyeramkan yang sesekali masuk melalui jendela, wanita nelayan itu hampir-hampir tampak hidup.
Nestor menggosokkan kedua telapak tangannya dengan cepat. Dia menaiki tangga, melewati deretan panjang lukisan para pemilik rumah terdahulu, dan memasuki ruang menara. Matanya dengan cepat memastikan keberadaan buku-buku catatan dan kapal-kapal model, lalu dia kembali ke lantai bawah. Semuanya masih seperti sediakala, semua barang berada di tempatnya. Sebuah buku catatan hilang, tentu saja, tapi Nestor menganggapnya sebagai pertanda baik.
Dia akhirnya tiba di ruang batu yang besar dan menyalakan lampu. Di lantai bertebaran pensil dan lembaran kertas, tepat di tempat Jason, Julia dan Rick meninggalkannya setelah sepanjang sore mencoba memecahkan teka-teki empat kunci.
Owl. Porcupine. Elephant. Newt.
Jadi begitulah, pikirnya. Mereka telah berhasil membuka pintu...
Nestor menatap pintu yang berat itu. Kayu tuanya tampak hangus dan tergores di sana-sini. Dan kini pintu itu terkunci lagi. Tertutup sekali lagi. Tidak mungkin memasukinya dari sini. Dia tahu benar itu. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu.
“Mudah-mudahan mereka selamat,” pengurus rumah itu berbisik keras, tangannya menyusuri kayu pintu misterius itu. Dia melirik arlojinya. Jarum-jarumnya yang panjang dan ramping dengan anggun melintasi waktu dalam sebuah lingkaran sempurna. “Mereka pasti sudah berada di sana sekarang,” tebaknya. Dia menggertakkan giginya dengan gelisah.
“Sudah dimulai.”
#3 Rumah Cermin
Semua orang menyembunyikan sesuatu. Termasuk peter Dedalus - teman dekat Ulysses- yang sudah menghilang beberapa puluh tahun. Tapi sebelum Peter mengungkapkan berbagai rahasia berbahaya Pintu Waktu. Sekarang semua tergantung pada Rick, Jason dan Julia untuk beradu kecerdikan memecahkan semuanya, sebelm Oblivia mendahului.
Berikut Kutipan isinya :
Begitu sarapan selesai, Rick berjalan ke pinggir tebing. Dia memandang lautan, merasakan embusan angin semilir di rambutnya. Julia, yang tadi kembali ke kamarnya untuk berpakaian dengan layak, kembali dengan membawa keempat kunci, masing-masing berbentuk seekor hewan. Dia mendapati Jason masih duduk di kursi yang sama sejak dia meninggalkannya ke kamar. Anak itu tampak tenggelam dalam pikirannya. Pulpen dan kertas tergeletak di depannya di atas meja.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” dia mengakui.
Julia berdiri di samping saudaranya, membaca dari atas bahunya. “Apakah kita tahu di mana Oblivia Newton tinggal?” dia bertanya.
Rick bergabung dengan mereka di meja teras. “Hei, teman-teman. Ada dua kapal nelayan mendekat ke pelabuhan,” katanya. “Kita bisa naik sepeda ke dermaga di bawah sana dan memilih udang segar untuk makan malam. Ada yang berminat?”
Jason menggeleng. Pikirannya berada di tempat lain. “Rick, kau tahu di mana tempat tinggal Oblivia?”
“Sama sekali tidak tahu,” Rick menjawab.
Jason bersandar di kursinya, menyusurkan tangan di rambutnya. “Ini yang aku dapatkan sampai sejauh ini,” dia mengumumkan, lalu menyorongkan kertas itu kepada Rick.
1. Mengambil kembali peta dari Oblivia.
2. Mencari tahu isi peta ? bahkan sebelum menemukannya!
3. Pelajari SEMUA hal yang perlu diketahui tentang Pintu Waktu.
4. Menggeledah seluruh Argo Manor, dari atas ke bawah.
“Lebih mudah dikatakan daripada dikerjakan,” ujar Rick, mengembalikan daftar tersebut kepada Jason. Rick mendudukkan diri di kursi. “Jadi apa rencananya?”
“Kita harus melakukan semua ini,” kata Jason, “dalam satu hari.”
“Kenapa harus buru-buru?” Julia penasaran.
“Ibu dan Ayah akan kembali malam ini,” Jason mengingatkan teman-temannya. “Rick harus pulang ke rumah.”
Wajah bocah Kilmore Cove itu mendadak gelap. Dia tidak ingin pulang ke rumah. Jangan sekarang. Belum waktunya.

#4 Pulau Topeng
Rick, Julia dan jason tau Peter Dedalus menyembunyikan sesuatu yang sangat berbahaya sehingga Peter menyembunyikannya di masa lalu. Hal ini membuat ketiga anak itu ditunjuk pergi ke Venesia abad 18. Ada banyak masalah dan teka-teki yang harus dipecahkan sebelum mereka menemukan Peter. Tapi Jason, Julia dan Rick bukanlah satu-satunya yang mengincar Peter. (Tau donk siapa itu... Hhe)
Dijamin, kalau sudah egang buku ini, tangan kamu akan serasa direkat dan sulit dilepaskan. kamu akan kecanduan dan berusaha mencari lanjutannya kemanapun. Karena petualangan ini sudah kamu mulai, maka kamu juga yang harus mengakhirinya ;)
Untuk melihat hasil Talk Show-nya, klik saja link di bawah ini:
Ulysses Moore